
Terlepas dari perbedaan bahasa dalam menyebut Tuhan, yang menarik kemudian adalah “Kenapa mula-mula manusia mengenal ide tentang Tuhan?”. Analisis tentang ini dibahas dalam berbagai macam epistimologi yang tentu saja dengan persepektif yang bervarian sesuai dengan hukum-hukum perkembangan yang menjadi landasan analisis dalam setiap epistimologi itu.
Pertama, manusia hidup dalam dunia yang real, yang artinya manusia sebagai bagian dari alam semesta ini tersusun dari sekumpulan materi-materi yang menyusunnya. Perilaku yang di hasilkan oleh manusia dalam aktivitas kesehariaanya adalah inerkoneksi antar materi itu yang pada tahapan kualitas paling maju menciptakan kesadaran tertentu atas apa yang ditangkap oleh indera manusia yang berupa materi, itulah “ide”, salah satu ide terbesar yang pernah diproduksi manusia yang samapai hari ini masih bertahan sebagai pemahaman dogmatis adalah ide tentang Tuhan.
Kedua, Hubungan yang menentukan perkembangan materi adalah intern materi itu sendiri, toh walaupun diakui bahwa faktor ekstern juga memberikan banyak pengaruh, tapi bukanlah pengaruh pokok yang menentukan. Dalam kerangka ini, materi bergerak sendiri (ada yang mengatakan pergerakan acak “random”) membentuk pola-pola tertentu yang sangat kompleks tapi memiliki arah sesuai hukum perkembangannya, selanjutnya pada tahapan paling maju membentuk materi dengan kualitas baru yang lain (peruabahan revolusioner).
Ketiga, Terbentuknya alam raya juga berdasarkan hukum-hukum yang mengendalikan gerak materi itu. Ada berbagai macam teori yang menerangkan tentang proses terjadinya alam semesta, yang masih aku ingat pernyataan Kant “bahwa alam semesta ini mula-mula adalah gas yang sangat panas sebelum terjadinya ledakan dahsyat”. Terjadinya alam semesta dengan setiap perkembangan seperti apa yang kita saksikan hari ini tidak semerta-merta terjadi begitu saja, ada tahapan proses yang dilalui, materi itu bergerak mengikuti aturannya, sehingga hari ini kita mampu melihat bumi dengan berbagai macam spesies yang ada didalamnya. Alam raya yang termasuk didalamnya manusia dengan berbagai macam kebudayaan dan tradisi yang telah dihasilkannya juga bekerja sesuai hukum-hukum itu, tentu saja juga melalui tahapan proses yang sangat lama hingga kita menyadari diri kita hari ini sebagai spesies yang berbicara, berfikir dan sadar.
Keempat, Dalam kerangka berfikir ini, ide adalah hasil budaya manusia, dan karena manusia secara organis tersusun dari materi-materi yang membentuknya, dapat dikatakan materi memproduksi ide, dan ide adalah gagasan manusia tentang materi yang ditangkap inderanya, demikian pula ide tentang Tuhan adalah gagasan manusia, seperti yang sudah aku singgung sebelumnya bahwa kepercayaan tentang Tuhan mula-mula muncul dalam bentuk yang paling primitif adalah kepercayaan akan adanya kekuatan di luar dirinya yang menguasai dirinya dan alam semesta ini secara mutlak. Gagasan ini muncul saat manusia melihat fenomena-fenomena alam yang tidak bisa diuraikannya secara rasional, selanjutnya manusia memahami kekuatan di atas sebagai kekuatan yang berada di luar diri dan alam semesta yang harus dikeramatkan, pada tahapan sejarah selanjutnya mengatarkan manusia pada sebuah sistem filsafat tersendiri dan mampu membuat nilai-nilai moral berlandaskan gagasan di atas (agama).
Kelima, Pemahaman (ide) mengenai eksitensi Tuhan jika dilihat dari perspektif sejarah dan dan kajian tentang manusia (antropologi), tidak akan pernah terlepas dari diskursus di atas, hal inilah yang mengatarkan para filsuf Yunani kuno pada pertanyaan tentang “Apa bahan dasar (main stuff) yang menyusun alam semesta ini?” dan jika diskursus ini dibawa pada wilayah metafisik kemudian muncul pertanyaan “siapa yang mula-mula membuat materi itu ada (exist)?”.
Keenam, Ide besar yang pernah dihasilkan manusia tentang Tuhan pada perkembangan sejarah juga telah mengantarkan manusia sistem mengenai tatanan masyarakat dalam rangka menciptakan keteraturan dan keharmonisan yang menjadi tujuan kemanusiaan (agama). Dalam perkembangannya agama juga memiliki variannya yang beragam dan bisa kita saksikan hari ini. Hal yang melatarbelakangi perbedaan antara varian agama itu sebenarnya bukan persoalan fundamentil, dalam sistem keberagamaan yang sudah mapan hari ini, kita dapat memahami bahwa perbedaan penyebutan tentang Tuhan adalah bukan perbedaan esensial, pun halnya dengan perbedaan metodologi dan cara kita sampai pada-Nya juga bukan persoaalan esensial, dan karenanya perbedaan ini tidak seharusnya membuat manusia saling memusuhi dan bahkan saling membunuh.
Ketujuh, Dalam hidup ini, akhirnya kita memang harus memilih, karena tidak ada hidup kecuali disana kita akan memilih tindakan apa yang akan kita lakukan dalam situasi dan kondisi pada ruang waktu yang melingkupi kita. Akhirnya kita harus meyakini apa yang kita anggap benar. Hanya, untuk menjadi seorang ilmuan memang kita harus selalu gelisah dan ragu, karena saat kita merasa sudah mapan dengan suatu keadaan disanalah kita akan menjadi stagnan, jika kita ingin proaktif dalam perubahan yang pasti terjadi maka jadilah ideolog yang meyakini apa yang dianggap benar dan kemudian mempraktekkan apa yang ia yakini dalam sebuah kerja-kerja, karena hanya sebuah keyakinan lah yang mampu menciptakan sebuah perubahan. Kita tinggal memilih sekarang apakah mau menjadi seorang ilmuan atau kita akan menjadi teolog yang ilmuan.
Pertama, manusia hidup dalam dunia yang real, yang artinya manusia sebagai bagian dari alam semesta ini tersusun dari sekumpulan materi-materi yang menyusunnya. Perilaku yang di hasilkan oleh manusia dalam aktivitas kesehariaanya adalah inerkoneksi antar materi itu yang pada tahapan kualitas paling maju menciptakan kesadaran tertentu atas apa yang ditangkap oleh indera manusia yang berupa materi, itulah “ide”, salah satu ide terbesar yang pernah diproduksi manusia yang samapai hari ini masih bertahan sebagai pemahaman dogmatis adalah ide tentang Tuhan.
Kedua, Hubungan yang menentukan perkembangan materi adalah intern materi itu sendiri, toh walaupun diakui bahwa faktor ekstern juga memberikan banyak pengaruh, tapi bukanlah pengaruh pokok yang menentukan. Dalam kerangka ini, materi bergerak sendiri (ada yang mengatakan pergerakan acak “random”) membentuk pola-pola tertentu yang sangat kompleks tapi memiliki arah sesuai hukum perkembangannya, selanjutnya pada tahapan paling maju membentuk materi dengan kualitas baru yang lain (peruabahan revolusioner).
Ketiga, Terbentuknya alam raya juga berdasarkan hukum-hukum yang mengendalikan gerak materi itu. Ada berbagai macam teori yang menerangkan tentang proses terjadinya alam semesta, yang masih aku ingat pernyataan Kant “bahwa alam semesta ini mula-mula adalah gas yang sangat panas sebelum terjadinya ledakan dahsyat”. Terjadinya alam semesta dengan setiap perkembangan seperti apa yang kita saksikan hari ini tidak semerta-merta terjadi begitu saja, ada tahapan proses yang dilalui, materi itu bergerak mengikuti aturannya, sehingga hari ini kita mampu melihat bumi dengan berbagai macam spesies yang ada didalamnya. Alam raya yang termasuk didalamnya manusia dengan berbagai macam kebudayaan dan tradisi yang telah dihasilkannya juga bekerja sesuai hukum-hukum itu, tentu saja juga melalui tahapan proses yang sangat lama hingga kita menyadari diri kita hari ini sebagai spesies yang berbicara, berfikir dan sadar.
Keempat, Dalam kerangka berfikir ini, ide adalah hasil budaya manusia, dan karena manusia secara organis tersusun dari materi-materi yang membentuknya, dapat dikatakan materi memproduksi ide, dan ide adalah gagasan manusia tentang materi yang ditangkap inderanya, demikian pula ide tentang Tuhan adalah gagasan manusia, seperti yang sudah aku singgung sebelumnya bahwa kepercayaan tentang Tuhan mula-mula muncul dalam bentuk yang paling primitif adalah kepercayaan akan adanya kekuatan di luar dirinya yang menguasai dirinya dan alam semesta ini secara mutlak. Gagasan ini muncul saat manusia melihat fenomena-fenomena alam yang tidak bisa diuraikannya secara rasional, selanjutnya manusia memahami kekuatan di atas sebagai kekuatan yang berada di luar diri dan alam semesta yang harus dikeramatkan, pada tahapan sejarah selanjutnya mengatarkan manusia pada sebuah sistem filsafat tersendiri dan mampu membuat nilai-nilai moral berlandaskan gagasan di atas (agama).
Kelima, Pemahaman (ide) mengenai eksitensi Tuhan jika dilihat dari perspektif sejarah dan dan kajian tentang manusia (antropologi), tidak akan pernah terlepas dari diskursus di atas, hal inilah yang mengatarkan para filsuf Yunani kuno pada pertanyaan tentang “Apa bahan dasar (main stuff) yang menyusun alam semesta ini?” dan jika diskursus ini dibawa pada wilayah metafisik kemudian muncul pertanyaan “siapa yang mula-mula membuat materi itu ada (exist)?”.
Keenam, Ide besar yang pernah dihasilkan manusia tentang Tuhan pada perkembangan sejarah juga telah mengantarkan manusia sistem mengenai tatanan masyarakat dalam rangka menciptakan keteraturan dan keharmonisan yang menjadi tujuan kemanusiaan (agama). Dalam perkembangannya agama juga memiliki variannya yang beragam dan bisa kita saksikan hari ini. Hal yang melatarbelakangi perbedaan antara varian agama itu sebenarnya bukan persoalan fundamentil, dalam sistem keberagamaan yang sudah mapan hari ini, kita dapat memahami bahwa perbedaan penyebutan tentang Tuhan adalah bukan perbedaan esensial, pun halnya dengan perbedaan metodologi dan cara kita sampai pada-Nya juga bukan persoaalan esensial, dan karenanya perbedaan ini tidak seharusnya membuat manusia saling memusuhi dan bahkan saling membunuh.
Ketujuh, Dalam hidup ini, akhirnya kita memang harus memilih, karena tidak ada hidup kecuali disana kita akan memilih tindakan apa yang akan kita lakukan dalam situasi dan kondisi pada ruang waktu yang melingkupi kita. Akhirnya kita harus meyakini apa yang kita anggap benar. Hanya, untuk menjadi seorang ilmuan memang kita harus selalu gelisah dan ragu, karena saat kita merasa sudah mapan dengan suatu keadaan disanalah kita akan menjadi stagnan, jika kita ingin proaktif dalam perubahan yang pasti terjadi maka jadilah ideolog yang meyakini apa yang dianggap benar dan kemudian mempraktekkan apa yang ia yakini dalam sebuah kerja-kerja, karena hanya sebuah keyakinan lah yang mampu menciptakan sebuah perubahan. Kita tinggal memilih sekarang apakah mau menjadi seorang ilmuan atau kita akan menjadi teolog yang ilmuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar